Kutatap bayangan diriku di cermin. Mata sembab, hidung merah yang masih berair, wajah yang merah padam, jejak air mata di pipi. Aku menghela nafas, menunduk sambil memegang kepalaku. Mataku terpejam, memori lama perlahan terputar di benakku. Memori kelam itu menggentayangiku. Kututup mata dan sebuah air mata mengalir dari sudut mata.
Senyum licik mereka. Tawa jahat mereka. Tatapan tajam mereka. Sikutan mereka. Bibir silet mereka. Aku masih ingat itu, rasa itu masih hidup di hatiku. Masih terbayang jelas ketika mereka mau berteman denganku hanya untuk nilai.
Kurasakan setetes air mengalir di pipiku.
Memori lain terputar, ketika aku takut untuk kembali berteman. Saat aku menikmati kesendirianku dan hanya berteman dengan buku. Ketika dia mencoba mengeluarkanku dari ruang gelap ini. Mewarnai hari-hariku. Mengubah pandanganku, hidupku, segalanya. Aku masih ingat rasanya, seperti hidup di tengah taman eden dengan semerbak aroma bunga yang dihembuskan angin lembut yang terasa sejuk di bawah sinar mentari yang tidak terlalu panas. Indah sekali.
Betapa senangnya hatiku sehingga aku merayakannya dengan caraku sendiri, menulis. Akan kupersembahkan novel khusus untuk mereka. Nama merekalah yang akan mengisi lembar pertama buku itu. Setiap lembarnya adalah kisah kami, dan terima kasihku untuk kalian sehingga dunia tahu aku punya sahabat seperti kalian.
Namun, kalian pergi saat novel ini masih di tengah jalan. Meninggalkanku untuk mencari teman yang lebih baik.
Kuhela napas untuk kesekian kalinya. Senyum sedikit tersungging di ujung bibirku mengingat semua itu.
Aku rindu kalian. Sangat rindu.
Setelah menghapus file naskah novel tersebut, aku tidak terlalu lama menyendiri. Aku punya teman, yah, setidaknya lebih dekat daripada yang lain. Aku tak berani menyebutnya sahabat, aku takut akan berakhir tragis jika menganggapnya begitu.
Kian hari kami semakin dekat. Melangkah bersama dan mengulurkan tangan jika ada yang tersandung. Berbagi mimpi dan membangunnya bersama. Berpegangan erat menghadapi ombak yang menerpa agar terus maju.
Aku senang, aku bahagia, tapi aku masih takut menganggap mereka sahabat. Bagaimanapun aku sudah dua kali ditinggalkan. Percaya pada hal yang pernah mengkhianati kita untuk kesekian kali adalah hal yang sulit dilakukan.
Benar saja, memori lama kembali terulang. Salah seorang dari mereka--aku bingung bagaimana menyebutnya-- melupakan kami. Ia lebih sibuk dengan dunia barunya, dunia yang ia impikan. Kedengaran egois memang, tapi setelah semua ini? Pantaskah?
Aku diam, mencoba menerima semuanya. Saat itu aku belum menyadari memori lama terjadi lagi, sampai suatu malam, memori itu kembali muncul di benakku. Sama persis. Semuanya sama, tingkah mereka, tutur kata mereka, bagaimana mereka mendekatiku hanya untuk nilai. Lalu aku merasa, dia yang berhasil itu, hanya memanfaatkanku.
Kukatakan kecewa. Kami semua kecewa. Ia meminta maaf padaku, pada kami semua. Kumaafkan, tetapi andai kau tahu sulit untuk pulih setelah semua yang kualami.
Kuangkat wajah, mengakhiri ingatan kelam itu. Tiga kali aku mengalami ini. Tiga kali pula hatiku patah, dan lebih sakit dari putus cinta. Aku tak yakin setelah ini bisa berteman kembali.
Aku punya rencana untuk melakukan hikikomori saja, tapi itu tak mungkin. Orangtuaku akan mengomeliku habis-habisan. Aku tak mau selama hidupku aku hanya diam, tak berteman dengan siapapun ketika aku di tengah keramaian. Tapi aku tak ingin pula ditinggalkan teman lagi. Dilematis.
Aku ingin punya teman imajiner.
Ya, kurasa inilah keputusan yang tepat. Teman imajiner tidak akan tertawa jika aku menangis juga tidak akan meninggalkanku. Ia tak akan membuatku kesepian atau sedih lagi. Ia akan selalu berada di sisiku tak peduli keadaanku.
Tunggu, apa itu?
Aku melihat pantulan bayangan seorang remaja laki-laki sebayaku sedang duduk di atas kasurku. Kutolehkan kepalaku dengan cepat, dan ia ada, sedang duduk di atas kasurku. Remaja berkulit pucat itu menyunggingkan sedikit senyum padaku.
"Hei," sapanya.
Aku terperangah untuk beberapa saat. "Hei, sedang apa kamu disini? Kalau ketahuan ibuku, kita bisa dimarahi,"
Dia tertawa kecil, "Tidak ada yang bisa melihatku selain kamu,"
Dahiku mengernyit.
"Mau main?" ajaknya.
Aku mengangguk dan melangkah ke kasur. Ia merogoh saku di belakangnya dan mengeluarkan sebuah benda kecil. Silet.
"Jadi, begini permainannya," ia menggeser posisi duduknya. "Aku akan bertanya padamu, dan jika kamu tidak bisa menjawabnya, kamu harus menyayat pergelangan tangan kirimu sekali,"
"A.. apa?"
"Ayolah, ini akan menyenangkan. Dulu, saat aku mengalami hal yang sama denganmu, aku memainkan ini dengan temanku dan aku bahagia sekarang,"
"Baiklah,"
Ia tersenyum lebar dan menyerahkan silet itu padaku. Bola matanya berputar, berusaha mencari pertanyaan.
"Pertanyaan pertama, apakah kamu punya sahabat?"
"Tidak," jawabku lirih sambil menyayat pergelangan tanganku sekali. Aku tersenyum, entah kenapa sayatan ini melegakan hatiku.
"Apakah kamu percaya pada sahabat?"
Aku kembali menyayat pergelangan tanganku, tingkat kebahagiaanku naik.
"Kenapa kamu tidak percaya?"
"Aku selalu ditinggalkan, dilupakan, atau dimanfaatkan. Aku sudah mengalaminya tiga kali jadi aku tak percaya lagi,"
"Ah, aku lupa. Jika ada hal yang mengecewakanmu, sayat sebanyak berapa kali kamu kecewa terhadap hal itu. Nah, sekarang sayat tiga kali," perintahnya.
Aku menyayat pergelanganku tiga kali. Darah segar keluar, tapi aku tak menghiraukannya karena aku bahagia.
"Berapa orang yang pernah kamu anggap sahabat, tapi pada akhirnya meninggalkanmu?"
Aku menghitung dalam hati. 3, 15... ya, totalnya 19 orang.
"19" ucapku.
Dia menunjuk ke arah pergelangan tanganku. Aku tersadar dan langsung menyayat sebanyak 19 kali. Darah mengucur semakin deras. Aku tersenyum lebar, menikmati sayatan demi sayatan. Sekilas kulihat ia tersenyum padaku.
Kurasakan seluruh anggota badanku lumpuh, tubuhku terhempas di kasur. Tak ada oksigen yang memenuhi paru-paruku. Kulihat remaja lelaki itu tersenyum padaku. Ia merunduk, mendekat ke telingaku.
"Kau bahagia sekarang," bisiknya.
Mataku meliriknya sebentar, dan tiba-tiba semuanya menjadi hitam.
Bahagia, aku datang.
-End-
***
Halo halo semua~ maaf gue baru muncul~ =w=
Maaf ya gue dateng-dateng bawain cerita yang creepy =w= lagi pengen soalnya, hehe.
Dari cerpen singkat gue ini, gue ajak kalian semua buat jangan bully temen kalian dengan cara gak mau berteman dengan dia dan jangan sekali-sekali melupakan temanmu. Tolong, itu sangat menyakitkan TwT
OHIYA, WARNING, SETIAP ADEGAN CERPEN DI ATAS HANYALAH FIKSI YA, JANGAN SEKALI-SEKALI DITIRU, SEMUANYA MURNI IMAJINASI SAYA SENDIRI.
Ga semuanya imajinasi sih, eh, kayak mana ya
Hmm~
Ya, cerpen di atas bisa dibilang inspired by a true story. Iye, bener. Soalnya ini pengalaman gue sendiri, hehe. Ups.
Hm, gue rasa udah dulu kali ye. Jangan lupa pesen gue tadi -w-
Have a nice day wan kawan.
Cheers,
Sirakun
0 komentar:
Posting Komentar