Senin, 05 September 2016

Slice of Dark Memories

Diposting oleh Anonim di 21.55 0 komentar
   Kutatap bayangan diriku di cermin. Mata sembab, hidung merah yang masih berair, wajah yang merah padam, jejak air mata di pipi. Aku menghela nafas, menunduk sambil memegang kepalaku. Mataku terpejam, memori lama perlahan terputar di benakku. Memori kelam itu menggentayangiku. Kututup mata dan sebuah air mata mengalir dari sudut mata.
   Senyum licik mereka. Tawa jahat mereka. Tatapan tajam mereka. Sikutan mereka. Bibir silet mereka. Aku masih ingat itu, rasa itu masih hidup di hatiku. Masih terbayang jelas ketika mereka mau berteman denganku hanya untuk nilai.
     Kurasakan setetes air mengalir di pipiku.
    Memori lain terputar, ketika aku takut untuk kembali berteman. Saat aku menikmati kesendirianku dan hanya berteman dengan buku. Ketika dia mencoba mengeluarkanku dari ruang gelap ini. Mewarnai hari-hariku. Mengubah pandanganku, hidupku, segalanya. Aku masih ingat rasanya, seperti hidup di tengah taman eden dengan semerbak aroma bunga yang dihembuskan angin lembut yang terasa sejuk di bawah sinar mentari yang tidak terlalu panas. Indah sekali.
  Betapa senangnya hatiku sehingga aku merayakannya dengan caraku sendiri, menulis. Akan kupersembahkan novel khusus untuk mereka. Nama merekalah yang akan mengisi lembar pertama buku itu. Setiap lembarnya adalah kisah kami, dan terima kasihku untuk kalian sehingga dunia tahu aku punya sahabat seperti kalian.
   Namun, kalian pergi saat novel ini masih di tengah jalan. Meninggalkanku untuk mencari teman yang lebih baik.
   Kuhela napas untuk kesekian kalinya. Senyum sedikit tersungging di ujung bibirku mengingat semua itu. 
   Aku rindu kalian. Sangat rindu.
   Setelah menghapus file naskah novel tersebut, aku tidak terlalu lama menyendiri. Aku punya teman, yah, setidaknya lebih dekat daripada yang lain. Aku tak berani menyebutnya sahabat, aku takut akan berakhir tragis jika menganggapnya begitu.
   Kian hari kami semakin dekat. Melangkah bersama dan mengulurkan tangan jika ada yang tersandung. Berbagi mimpi dan membangunnya bersama. Berpegangan erat menghadapi ombak yang menerpa agar terus maju.
   Aku senang, aku bahagia, tapi aku masih takut menganggap mereka sahabat. Bagaimanapun aku sudah dua kali ditinggalkan. Percaya pada hal yang pernah mengkhianati kita untuk kesekian kali adalah hal yang sulit dilakukan.
   Benar saja, memori lama kembali terulang. Salah seorang dari mereka--aku bingung bagaimana menyebutnya-- melupakan kami. Ia lebih sibuk dengan dunia barunya, dunia yang ia impikan. Kedengaran egois memang, tapi setelah semua ini? Pantaskah?
   Aku diam, mencoba menerima semuanya. Saat itu aku belum menyadari memori lama terjadi lagi, sampai suatu malam, memori itu kembali muncul di benakku. Sama persis. Semuanya sama, tingkah mereka, tutur kata mereka, bagaimana mereka mendekatiku hanya untuk nilai. Lalu aku merasa, dia yang berhasil itu, hanya memanfaatkanku.
   Kukatakan kecewa. Kami semua kecewa. Ia meminta maaf padaku, pada kami semua. Kumaafkan, tetapi andai kau tahu sulit untuk pulih setelah semua yang kualami.
   Kuangkat wajah, mengakhiri ingatan kelam itu. Tiga kali aku mengalami ini. Tiga kali pula hatiku patah, dan lebih sakit dari putus cinta. Aku tak yakin setelah ini bisa berteman kembali.
   Aku punya rencana untuk melakukan hikikomori saja, tapi itu tak mungkin. Orangtuaku akan mengomeliku habis-habisan. Aku tak mau selama hidupku aku hanya diam, tak berteman dengan siapapun ketika aku di tengah keramaian. Tapi aku tak ingin pula ditinggalkan teman lagi. Dilematis.
   Aku ingin punya teman imajiner.
   Ya, kurasa inilah keputusan yang tepat. Teman imajiner tidak akan tertawa jika aku menangis juga tidak akan meninggalkanku. Ia tak akan membuatku kesepian atau sedih lagi. Ia akan selalu berada di sisiku tak peduli keadaanku.
   Tunggu, apa itu?
   Aku melihat pantulan bayangan seorang remaja laki-laki sebayaku sedang duduk di atas kasurku. Kutolehkan kepalaku dengan cepat, dan ia ada, sedang duduk di atas kasurku. Remaja berkulit pucat itu menyunggingkan sedikit senyum padaku.
   "Hei," sapanya.
   Aku terperangah untuk beberapa saat. "Hei, sedang apa kamu disini? Kalau ketahuan ibuku, kita bisa dimarahi,"
   Dia tertawa kecil, "Tidak ada yang bisa melihatku selain kamu,"
   Dahiku mengernyit.
   "Mau main?" ajaknya.
   Aku mengangguk dan melangkah ke kasur. Ia merogoh saku di belakangnya dan mengeluarkan sebuah benda kecil. Silet.
   "Jadi, begini permainannya," ia menggeser posisi duduknya. "Aku akan bertanya padamu, dan jika kamu tidak bisa menjawabnya, kamu harus menyayat pergelangan tangan kirimu sekali,"
   "A.. apa?"
  "Ayolah, ini akan menyenangkan. Dulu, saat aku mengalami hal yang sama denganmu, aku memainkan ini dengan temanku dan aku bahagia sekarang,"
   "Baiklah,"
   Ia tersenyum lebar dan menyerahkan silet itu padaku. Bola matanya berputar, berusaha mencari pertanyaan.
   "Pertanyaan pertama, apakah kamu punya sahabat?"
   "Tidak," jawabku lirih sambil menyayat pergelangan tanganku sekali. Aku tersenyum, entah kenapa sayatan ini melegakan hatiku.
   "Apakah kamu percaya pada sahabat?"
   Aku kembali menyayat pergelangan tanganku, tingkat kebahagiaanku naik.
   "Kenapa kamu tidak percaya?"
   "Aku selalu ditinggalkan, dilupakan, atau dimanfaatkan. Aku sudah mengalaminya tiga kali jadi aku tak percaya lagi,"
   "Ah, aku lupa. Jika ada hal yang mengecewakanmu, sayat sebanyak berapa kali kamu kecewa terhadap hal itu. Nah, sekarang sayat tiga kali," perintahnya.
   Aku menyayat pergelanganku tiga kali. Darah segar keluar, tapi aku tak menghiraukannya karena aku bahagia.
   "Berapa orang yang pernah kamu anggap sahabat, tapi pada akhirnya meninggalkanmu?"
   Aku menghitung dalam hati. 3, 15... ya, totalnya 19 orang.
   "19" ucapku. 
   Dia menunjuk ke arah pergelangan tanganku. Aku tersadar dan langsung menyayat sebanyak 19 kali. Darah mengucur semakin deras. Aku tersenyum lebar, menikmati sayatan demi sayatan. Sekilas kulihat ia tersenyum padaku.
   Kurasakan seluruh anggota badanku lumpuh, tubuhku terhempas di kasur. Tak ada oksigen yang memenuhi paru-paruku. Kulihat remaja lelaki itu tersenyum padaku. Ia merunduk, mendekat ke telingaku.
   "Kau bahagia sekarang," bisiknya.
   Mataku meliriknya sebentar, dan tiba-tiba semuanya menjadi hitam.
   Bahagia, aku datang.

-End-
***
Halo halo semua~ maaf gue baru muncul~ =w= 
Maaf ya gue dateng-dateng bawain cerita yang creepy =w= lagi pengen soalnya, hehe.
Dari cerpen singkat gue ini, gue ajak kalian semua buat jangan bully temen kalian dengan cara gak mau berteman dengan dia dan jangan sekali-sekali melupakan temanmu. Tolong, itu sangat menyakitkan TwT
OHIYA, WARNING, SETIAP ADEGAN CERPEN DI ATAS HANYALAH FIKSI YA, JANGAN SEKALI-SEKALI DITIRU, SEMUANYA MURNI IMAJINASI SAYA SENDIRI.
Ga semuanya imajinasi sih, eh, kayak mana ya
Hmm~
Ya, cerpen di atas bisa dibilang inspired by a true story. Iye, bener. Soalnya ini pengalaman gue sendiri, hehe. Ups. 
Hm, gue rasa udah dulu kali ye. Jangan lupa pesen gue tadi -w-
Have a nice day wan kawan.
Cheers,
Sirakun

   
   
   
   
   
   
   
   

   
   






Senin, 13 Juni 2016

Kritikan dan Hinaan

Diposting oleh Anonim di 16.43 0 komentar
    I don't know why tiba-tiba pengen nge-post lagi. Hehe. Kali ini tentang kritikan dan hinaan, seperti yang kalian baca di judul. Tanpa banyak nasi basi, silakan~!
   Beberapa waktu yang lalu, gue mendapat kabar bahwa salah satu komik di webtoon (Iya, gue pembaca webtoon) berhenti di tengah jalan karena banyaknya hate comment. Bagi kalian yang baca webtoon pasti tau.
   Karena tingkat kekepoan gue sangatlah tinggi, gue langsung nyari akun pribadi si author dan ketemu akun tumblr pribadinya. Langsung aja gue scroll down-scroll up-scroll down-scroll up, gitu aja terus sampe nenek gue buat webtoon.
   Dari sekian tulisan yang gue baca, gue dapat menyimpulkan bahwa dia berhenti karena banyaknya hate comment dan itu membuat dia ga nyaman. Harusnya dengan bikin webtoon dia tuh terhibur, tapi malah sebaliknya, dia malah tertekan karena banyaknya hate comment. Daripada pusing sendiri, mending tutup aja dah.
   Jujur, gue sedih, miris, dan marah bacanya. Gila, the power of hate comment bener-bener kuat. Betapa beringasnya mulut para reader sampe-sampe ‘membunuh’ author. Apalagi, gue baru baca komiknya beberapa hari sebelum berhenti. Dan gue suka komiknya, berharap komik ini akan bangun dari tidur panjangnya, tapi harapan gue pupus waktu liat komik itu update, dan malah update pengumuman stop.
   Gue menyayangkan pasukan hate comment. Oleh karena pedasnya kata-kata kalian, kalian sampe memadamkan sparkle orang lain. Mengubah hiburannya menjadi mimpi buruk. Itu semua terjadi gara-gara Cuma ada beberapa pihak yang ga suka. How selfish!
   Beberapa bulan kemudian, tepatnya beberapa hari yang lalu, gue baca tulisan di wattpad tentang dunia tulis-menulis sesungguhnya, dimana yang tenar ga selalu berarti sangat bagus. Di sertakannya juga beberapa screenshot review beberapa novel wattpad yang terbit dan kurang mendapat respon bagus dari masyarakat. Simpulannya, tenar bukan selalu berarti bagus, bahwa kalo mau nulis yang bagus itu belajar terus, jangan andalkan ketenaran, terbukalah pada kritik, sekeras apapun kalo itu membangun ya telen aja, dan dunia perbukuan sungguhlah keras. Kuatkan hatimu.
   Hmm, kritik dan hinaan. Ada yang menghina, tapi keliatan kayak mengkritik karena bahasanya halus. Ada yang mengkritik, tapi keliatan menghina gara-gara bahasanya keras. Hmm..
   Pertama, gue bakal bahas hinaan. Siapapun itu pasti gamau dihina, dilecehin, apalagi perpaduan keduanya sambil diludahin. Ga ada yang sudi, bray. Ga ada yang terima kalo kerja kerasnya dihina seenak udel. Menghina-dina karya orang lain yang si penghina aja belum tentu mau dan bisa melakukan apa yang dihina, tapi udah berlagak kayak Tuhan di bidang itu. Judge sana-sini, komentar di segala sisi. Ngorek ngorek di sela-sela karya hingga terlihat kurangnya, ga ngasih solusi pula. Apaan. Cih. Kalo ga suka dari awal mending ga usah liat daripada mulutnya berkoar.
   Guys, please, hargai karya orang lain. Kalian ga tau apa yang dilalui, diperjuangin, seberapa keringat yang ngucur, dan betapa tebalnya kantong mata yang berhasil dia buat demi karyanya itu. Dan setelah di tunjukin, malah kalian injek? Mungkin di depan dia masih senyum dan nanggepin itu dengan slow, padahal mah dalem hatinya, APAAN DAH NI KUCRUT NGEHINA HINA APA SI KAYAK DIA BAGUS ASDFGHJKLQWERTYUIPOSK6$#56R$y!!!#R$%&Y(*_)(&^$ *ngambil kapak* . Dan malah, hinaan kalian malah bisa bikin orang ga pede dan akhirnya mengakhiri perjuangannya loh.
   Kalo misalnya kalian ngelihat ada kekurangan, mending sampein baik-baik mana kurangnya. Kan sip, enak. SI author juga pasti bakal berterima kasih sama kalian karena bisa bikin karyanya lebih baik lagi. Tentang cara penyampaian, sangat disarankan MEMAKAI BAHASA YANG HALUS, karena pasti tiap orang beda-beda. Kalo pake bahasa yang kasar, takutnya orang salah paham dan malah ngedown. Serasa, apa gunanya gue bikin ini kalo tanggepannya gini. Batu butangkup, telanlah aku...
   Kalo gue pribadi sih ya, gue membuka lebar-lebar kesempatan bagi orang yang mau kasih kritik dan saran. Gue juga ga masalah kalo gue dikritik dengan cara kasar, selama itu membangun dan bikin karya gue better than before, oke akan gue telan mentah-mentah, sepahit apapun itu. Kalo ada yang ngehina karya gue tanpa ngasih solusi, gue senyumin aja sih. Paling besoknya gue lacak terus kirim granat ke alamat rumahnya <(‘’)
    Yha, gue pikir cukup sampe sini. Maaf kalo pendek bener, gatau kenapa yang dikeluarin Cuma segini padahal dalem hati mah udah tumpeh-tumpeh. Kadang gue gak ngerti sama diri gue sendiri. Eh. Yaudahlah ya, yang penting HARGAI KARYA ORANG LAIN ya guys.
   See you on the next post
   Maju terus dunia sastra dan perkomikan Indonesia!
   Cheers,
   Sirakun
  

   

Ini Bukan Soal Nilai

Diposting oleh Anonim di 09.35 0 komentar
Besok gue akan menghadapi momok terseram bagi para siswa: ujian. Tepatnya besok gue bakal menjalani ujian mid semester.
Ujian mid semester kali ini berbeda karena bersuasana seperti semesteran. Biasanya mid ga diacak kelasnya, tapi kali ini diacak.
Jadi, tiap kelas di sekolah gue ini dikabarkan mempunyai cctv. Kabar doang sih, gatau bener apa enggak. Soalnya cctvnya sungguh sangat tersembunyi dan penghuni dalemnya aja sampe gatau kelasnya sendiri ada cctv atau enggak.
Dan jujur, sampe sekarang gue gatau di kelas gue ini cctvnya ada atau ga.
Nah jadi, kayak yang dibilang sebelumnya, mid kali ini kelasnya diacak. Kebetulan, kelas gue dapet kelas yang konon kabarnya dipasang cctv.
Temen-temen sekelas pun sibuk nanya sama penghuni kelas tersebut. Ada yang bilang dipasang, ada yang bilang ga dipasang.
Tapi, satu kabar mengejutkan datang.
Salah satu penghuni pribumi kelas itu mengatakan kelas itu dipasang karena dia pernah melihat kelasnya di ruang pantau, ruang untuk mantau kelas lewat cctv. Yang bermakna kelas tersebut dihuni oleh cctv.
Panik.
Siaga.
AAA.
Temen-temen gue pun panik karena katanya dipasang cctv. Ada yang ga percaya juga sih. Tapi tetep aja bikin panik.
Grup line pun rame membicarakan hal tersebut. Gue Cuma jadi silent reader aja sih, males ngomen.
‘ADA CCTV TAH?’
‘GILA SIH GA BISA NGEPEK GUA’
‘ANJIIIR MASA ADA’
‘TEMAN-TEMAN MARI BERDOA SUPAYA TIDAK ADA CCTV’
‘BERDOA MULAI’
‘BERDOA SUPAYA RUANG PANTAU GA ADA YANG NGAWAS’
‘BERDOA SUPAYA CCTVNYA MELEDAK’
‘KITA KARUNGIN AJA CCTVNYA’
Jujur, gue sebenernya ga panik dan ga risau. Mau ada cctv kek, mau enggak kek, mau ada snipernya juga ga masalah buat gue.
Karena gue bukan termasuk oknum mengepek dan mengode.
Bukan, gue bukan sok alim bukan. Aku juga manusia~
Tapi ini semua karena kebiasaan.
Gue emang terbiasa untuk ga nyontek waktu ulangan. Kebiasaan yang udah ditanem dari SD. Jadi agak risih kalo melakukan aktivitas contek-menyontek.
Lagipula, dimata gue menyontek adalah hal yang memalukan dan sia-sia.
Memalukan kenapa?
Kalo menurut gue, gini
Kita menghabiskan waktu kurang lebih 8 jam sehari dalam 5 hari seminggu. Menyontek itu kan berarti kita bertanya/melihat jawaban teman yang disebabkan ketidak tahuan. JADI 8 JAM X  5 HARI ITU GUNANYA APOO? SEBEGITU BEBALKAH KITA?
Terus sia-sia. Iyalah, gimana ga sia-sia. Kita menghabiskan banyak waktu, uang, tenaga, de el el untuk berangkat sekolah, belajar. Terus pas ujian nyontek. Jadi belajar selama ini untuk apa? Mending langsung ujian kalo mau nyontek. Enak, gausah berangkat bawa tas segede gaban tiap hari, 8 jam dikurung, dimarahin, ngerjain tugas/pr, ulangan, dan lain-lain. Terus dapet ijazah. Mending jual gorengan sono, buat bantu ortu nyari duit.
Lalu, makna ujian itu apasih?
Ujian itu kan sebenernya untuk menguji batas pemahaman kita. Kalau nilainya gede, alhamdulillah udah ngerti kita berarti, kalo kecil, belajar lagi karena kita belum paham.
Terus, kalo kita nyontek apa yang mau diuji soal pemahaman?
Yang ada itu pelajaran nambah ga masuk di otak.
Terus, kalo guru liat nilai anak didiknya bagus semua, dia pasti bakal mikir ‘wah anak didik saya udah paham semua’
Kalo udah paham otomatis gabakal diulang kan.
Kalo udah gitu itu materi bakal ga kamu pahamin for rest of your life.
Hancur.
Next, guna nilai gede tapi hasil nyontek itu apa?
Mungkin kita bakal disegani orang karena nilai kita gede. Orang kira pasti kita pinter, kan nilainya gede.
Tapi, kalo misalnya kamu ditanya atau diuji mendadak sama orang. Dimana tidak ada yang bisa diconteki. Apakah kamu bisa menjawab?
Malu amat kalo gabisa jawab. Kamu udah dipandang pinter gara-gara nilai. Apalagi kalo yang ditanyain materi yang nilai ulangan kamu gede. Bisa-bisa orang mikir ‘nih anak nyontek kali ya’.
Malu luar dalem.
‘Tapi yang nyebabin kita begini nih ya karena masyarakat umum juga. Karena nilai sering lebih dihargai daripada jujur’
Oke, itu bener.
Tapi tolong, ini jangan jadikan alasan buat menyontek.
Biarkan mereka ga menghargai kejujuran dan kerja keras kita. Biar mereka meremehkan kita. Jangan pernah berhenti untuk jujur. Bukankah yang penting itu kita dihadapan yang kuasa, bukan didepan khalayak?
Suatu saat, the truth will show it all. Yang jujur bakal berjaya dan yang si nilai balon akan terpuruk.
Lagipula, yang kita bawa mati tuh cara dapet nilai itu, bukan nilai itu.
Jadikan kegiatan belajar untuk menuntut ilmu agar menjadi pandai dan meraih ridho-Nya, bukan untuk mengejar selembar ijazah.

March 13th 2016, Sunday.
*

Yhaa, ini tulisan lama gue yang baru di publish. Sekadar tulisan isi hati *eaak* gue doang sih, hehe. 
Oya, gue lupa nulis ya. Blog ini bakalan gue isi dengan tulisan kayak gini, pengalaman gue, atau mungkin suatu saat cerpen gue. 
Oke, I think it's enough.
See you on the next post.
Cheers,
Sirakun


 

Rakun dalam Selimut Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review